Jumat, 02 Desember 2011

Cerpen CInta "Suka? Sayang? Cinta kaleee!"

Gue suka lu!""Gue suka lu!""Gue suka lu!" Ah itu lagi itu lagi yang diucapin gadis-gadis ke gue. Kenalin, gue Alvin, terkenal sebagai preman sekolah. Banyak yang takut sama gue banyak juga yang kepincut sama gue. Pasti mereka cuma liat tampang gue aja dan gue nggak suka itu. Kebanyakan yang nembak
gue ialah cewek-cewek clubbing yang cuma butuh gandengan keren buat diajak jalan, emang gue tas cewek! Gue nggak suka ucapan 'suka', mungkin gue lebih ngehargain kalau mereka bilang 'sayang'. Tapi yang benar-benar gue tunggu dan gue harapkan adalah kata 'cinta'.
"Aku cinta kamu!"
Gue terperangah, dan kenapa kata yang gue tunggu itu datang dari seorang gadis cupu yang dianggap freak
di sekolah? Biasanya cewek-cewek model begini takut, bahkan mungkin
benci dengan cowok tampang preman kayak gue. Mana mungkin nyambung,
tampilan gue aja udah sangar. Gue bingung, kok bisa-bisanya dia 'cinta'
sama gue, bahkan sekarang berani tatap mata gue dalam, cewek model dia
biasanya ciut.
"Kenapa lu 'cinta' sama gue!"Gue keluarkan pertanyaan jebakan. Biasanya para cewek yang nembak gue akan langsung terbuka
kedoknya dengan memuji-muji luar dan dalam gue. Terbukti mereka cuma
lihat kelebihan gue. Yang gue harapin bukan pujian, tapi definisi dari
cinta itu sendiri.
"Aku nggak tahu kenapa aku jatuh cinta sama kamu! Walaupun aku berkali-kali nyangkal rasa ini, tapi aku malah semakin
sadar dan rasa ini semakin besar. Yang aku tahu, kamu memang orang yang
tepat buat aku cintai!"
Gue mengamati sosok gadis cupu itu. Dengan seragam dimasukkan, rok dibawah lutut dan rambut yang terus menerus
dijepit asal. Kacamata juga tidak pernah lepas dari matanya, dan
menurutku hal-hal itulah yang bisa mengurangi kecantikan wanita. Tapi
jawabannya itu, itu benar definisi cinta yang gue cari. Kenapa malah
dia yang bisa mengerti definisi cinta yang gue tunggu. Bukan pujian,
bukan kelebihan, tapi kejujuran tentang perasaan yang memang diluar
kuasa kita. Itu cinta, itu benar rasa cinta, bukan suka.

Terbawa penasaran, gue setujui buat jadian sama gue, walaupun sebenarnya gue nggak punya perasaan yang sama. Sama teman-teman, buat
ngejaga gengsi tentu gue bilang gue cuma cari sensasi jadian sama cewek
kayak begitu.

***
Berita jadiannya gue dengan Sivia cukup heboh tersebar di sekolah. Gue cuek aja, banyak yang berpendapat gue pingin
meningkatkan reputasi dengan mencari sensasi. Gue cukup kaget waktu
pertama kali ngapelin Sivia, cewek gue. Dia nggak secupu yang gue kira,
nggak, dia sama sekali nggak cupu. Ternyata penampilan cupu itu cuma di
sekolah aja, di luar dia berdandan selayaknya gadis biasa, manis malah.
Kecuali kacamatanya, semua dandanannya waktu mau keluar bareng gue
membuat gue pangling. Rambutnya ternyata panjang lurus, selama ini
nggak kelihatan karena terus dijepit. Dan model seragam yang mengganggu
pemandangan itu sudah diganti dengan baby doll pink cantik dengan jeans
panjang. Sivia akan lebih manis kalau aja dia mau melepaskan
kacamatanya. Sayangnya ia nggak pernah mau, katanya nggak bisa melihat
jelas. Sayang sekali dia nggak pakai softlens aja.
Gue merasa cukup beruntung jadian sama Sivia. Walaupun tampilannya biasa dan
cenderung cupu di sekolah, gue nggak harus ribet seperti teman gue yang
lain. Sivia bukan gadis manja yang suka minta anter jemput
kesana-kesini. Dia juga pengertian sama gue, dia bukan tipe cewek yang
suka melorotin cowoknya. Dia selalu berusaha membuat gue nyaman kalau
bersamanya. Dan gue mulai salut sama usaha dia. Gue akui, gue udah
sayang sama dia, karena gue nggak ragu lagi, dia cinta dan sayang
banget sama gue.

***
Belakangan ini gue heran, Sivia sering kelihatan kusut setiap mau gue antar pulang sekolah. Alasannya sih
nabrak orang, minumannya muncrat, kuahnya muncrat, jatuh makanya ada
noda tanah. Tapi gue curiga, itu cuma alasan buatan. Masa bisa sesering
itu. Diam-diam gue mata-matain dia di sekolah, gue pesan ke teman
terdekat dia buat lapor gue kalau ada sesuatu yang aneh. Kata temannya,
kayaknya Sivia digencet sama genk cewek-cewek yang patah hati sama gue.
Gue langsung emosi, tapi gue ingin menangkap basah mereka.


***
Hari itu pun tiba. Setiap istirahat kami memang pisah. Dia sama temannya, gue sama temen gue, kami nggak mau jadi pasangan yang saling
ketergantungan. Gue tahu dia cewek yang mandiri dan punya dunianya
sendiri, gue hargai kebutuhannya itu seperti juga dia menghargai waktu
gue bersama sahabat-sabahat cowok gue. Istirahat itu gue mergokin Dea
cs mendekati dia. Ini dia yang gue tunggu, gue kuntitin mereka sampa ke
taman belakang sekolah yang sepi, tapi gue tetap dalam persembunyian. Dea mulai beraksi.
"Eh elo tuh ya, udah kita bilangin masih ngeyel juga! Alvin tuh nggak beneran suka sama lu, dia cuma cari
sensasi! Ngaca dong!" Dea berteriak kasar sambil mendorong Sivia
sampai jatuh terduduk. Gue emang preman, tapi gue nggak suka tingkah
pengecut kayak gitu. Itu cuma akan dilakuin sama pecundang yang nggak
bisa terima kekalahan, nggak sportif. Gini-gini gue juga hargai
sportifitas.
"Terus apa urusan kalian!"
Hebat, gue nggak nyangka Sivia berani menjawab walau tidak beranjak dari
duduknya.
"Lu tuh bolot ya! Ya lu putusin dia dong! Kita ini terganggu sama kehadiranlu! Dasar nggak tahu diri!" Zevana menyiram
kepala Sivia dengan coca-cola. Sivia nggak bisa melawan karena ditahan
seabrek-abrek pasukannya. Gue udah nggak tahan pingin nunjukin diri
kalau aja gue nggak dengar ucapan pacar gue.
"Nggak masalah dia manfaatin gue! Bisa bermanfaat buat dia aja gue udah bersyukur!
Daripada ada cewek-cewek lain yang jadian sama dia buat manfaatin dia!
Lebih baik gue yang dimanfaatin!" Ucapan Sivia itu semakin membakar
emosi rivalnya.
"Eh elo nyindir kita? Berani lu ngatain kita!" Mereka makin beringas.
"STOP! Apa-apaan sih ini! Kalian ngapain cewek gue hah?" Aku akhirnya keluar dari persembunyian.
"Beruntung gue nggak terima lu semua, norak tau nggak! Pengecut!"
Kataku sadis sambil merangkul Sivia.
Jujur gue kaget dengan ucapannya tadi. Dia nggak keberatan gue manfaatin, jujur awalnya gue emang nggak
serius mau jadian sama dia. Sekarang gue sadar, gue beruntung banget
temuin cewek kayak dia dan jadi pacarnya.
"Lu sendiri apaan Vin? Muna! Lu cuma cari sensasi doang kan jadian sama dia,lu tegasin dong sama dia biar dia nggak GR!" Dea malah membentakku.

Mata Sivia berkaca-kaca, aku sadar dia sudah hampir menangis. "Jaga bacot lu! Nggak ada urusannya juga samalu! Lagian kata siapa gue cuma
cari sensasi hah?"
Deaa memutar bola matanya, "Hallah, Cakka sendiri yang bilang sama gue! Lu nggak mungkin bohong sama sohib lu itu
kan!"
Sial, itu kelemahan sohib-sohib gue, mereka nggak bisa jaga rahasia. Itu kan cuma buat jaga gengsi gue, sekarang gengsi itu
sudah nggak penting. "Kalo gue emang bohong, lu mau apa? Kalo gue
beneran suka sama Sivia lu mau apa?" Gue maju menantangnya.
Lalu gue mengacungkan telunjuk di depan hidungnya dengan wajah semarah mungkin.

"Jangan pernah lagi lu ikut campur urusan gue, apalagi sakitin pacar gue kayak gini! Sekali gue tau lu giniin cewek gue, gue pastiin nggak
bakal ada lagi yang mau jadi pacar lu! Biar lu jadi perawan tua!"
Gue menatapi tajam gadis-gadis lain yang bersekongkol dengannya. "Itu juga
berlaku buat kalian! Sekarang bubar, atau gue laporin kalian ke kepala
sekolah!" Ancam gue. Mereka ciut dan bubar.

***
Gue beralih menatap Sivia yang masih shock, matanya masih berkaca-kaca.
"Kamu kenapa nggak lapor hal ini sama aku? Kamu nggak anggap aku sebagai cowok
kamu?" Tanya gue kesal padanya. Gue nggak suka dia berkorban memendam
ini sendiri.
"Aku pikir selama aku masih bisa ngatasin sendiri, aku nggak mau ngerepotin kamu! Lagipula aku takut...kamu akan
putusin aku kalau tahu tentang ini!" Sivia berkata dengan suara
bergetar.
Gue terharu dengan kenyataan ini. Ternyata selama ini Sivia sengaja pendam sendiri karena nggak ingin gue repot, dia
bahkan nggak masalah kalaupun gue benar-benar cuma memanfaatkan dia.

"Ya nggak lah! Kamu boleh cerita apapun ke aku, cerita kesulitan kamu, apa aja deh, itu kalo kamu anggap aku sebagai cowok kamu!"

"Selama ini aku udah banyak ngerepotin kamu, aku nggak enak Vin! Aku juga tahu sebenarnya aku nggak pantas jadi pacar kamu, bisa jadian sama
kamu aja aku udah bersyukur! Walaupun misalnya yang mereka bilang itu
benar aku ikhlas, yang penting selama kamu masih butuh aku, aku akan
tetap ada bersama kamu..." Sivia terus berceloteh, membuat gue spontan
memeluknya.
"Kamu ngomong apa sih? Kamu percaya sama omongan mereka itu?" Gue sedih mendengar perkataannya. Ternyata Sivia menganggap
selama ini gue nggak benar-benar cinta padanya. Oke, awalnya memang
iya, ternyata ia sadar, tapi...apa harus gue jelaskan?
Gue menghela nafas. "Aku suka, cinta, sayang sama kamu Vi! Seperti apapun
kamu! Awalnya aku emang cuma penasaran dengan keunikan kamu, tapi
lama-lama...aku juga nggak bisa nyangkal perasaan ini Vi!" Ungkap gue
jujur. Gue melepaskan pelukan dan menatap matanya dalam, "Aku serius
udah jatuh cinta sama kamu! Sekarang tolong jangan berlagak kayak orang
lain lagi denganku! Aku ini cowok kamu dan selalu anggap kamu sebagai
cewek aku! Kalau ada kejadian kayak gini kamu harus cerita, tentu aja
aku nggak akan ngerasa direpotin, aku justru bakal merasa
dihargai!"
Sivia akhirnya menumpahkan air mata yang selama ini betah menggenangi bola matanya. "Aku kira selama ini kamu...kamu
beneran nggak suka sama aku! Kamu..." Ia seperti tidak menyangka.Gue
nggak menyangka dia menyadari niat awal gue. Bahkan selama ini walau
dia menganggap gue nggak serius menyukainya, dia tetap berbaik hati
sama gue. Dia bahkan ikhlas kalaupun benar-benar gue
manfaatin.
"Kamu kenapa nembak aku kalau yakin aku nggak cinta sama kamu?" Tanya gue suatu hari waktu kami makan berdua di kafe.
"Aku cuma pingin jadi sebuah nama yang tercatat di hidup kamu, di kenangan kamu. Walaupun misalnya menurut kamu aku nggak
berharga, setidaknya aku pernah mengisi dan bermanfaat di hidup kamu!"
Begitu alasannya. Sivia, apa sih yang ada di pikirannya. Gue heran ada
aja cewek kayak gini.
"Tapi aku senang banget ternyata kamu sekarang suka beneran sama aku!" ucap Sivia
"Aku suka brownies, suka sama warna biru, suka sama film horor, suka usil!" Gue mencoba
menyadarkannya arti 'suka'.
"Oke, sayang!" Ralatnya.
"Aku sayang sama piaraanku, si Boncil, aku sayang sama adikku, aku sayang sama adik sepupuku, aku sayang sama anak tetanggaku!" Gue kesal
dia belum menjumpai kata yang tepat.
"Iya iya! Cinta!" Sivia akhirnya sadar.
"Nah gitu dong!" Gue tersenyum mencomot pangsit udangnya. Dia menepuk tangan usil gue.
"Ngomong-ngomong, thanks ya softlensnya!" Sivia tersenyum senang, menunjukkan kotak yang
gue belikan untuknya.
"Ya , Jangan lupa dipake ya .. Kan kalo pake itu kamu makin keliatan cantiknya" kata gue sambil mengedipkan mata dan memberikan senyum termanis
"Iya cintaaaaaa !!" Jawab Sivia sambil tersenyum senang.

Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan sobat tinggalkan pesan dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan blog ini. Gunakan kata-kata yang sopan dan baik dan tidak ada unsur SARA.
terima kasih atas kunjungan anda.